SIKATNEWS.id | Indonesia bangga disebut negara hukum. Tapi setiap kali hukum dijalankan, banyak pejabat mendadak gelisah, karena cermin yang mereka buat sendiri akhirnya menampakkan wajah sebenarnya.
Maka lahirlah sistem yang ajaib, yakni hukum tetap dijunjung tinggi, asal kepentingan yang salah berdiri lebih tinggi di atasnya. Di negeri ini, hukum bisa bicara lantang, asalkan tahu kapan harus diam.
Hotel Purajaya: Ketika Bangunan Runtuh Bersama Nalar
Kasus Hotel Purajaya di Batam seharusnya menjadi alarm keras tentang rusaknya logika hukum. Tapi yang berbunyi justru alat berat.
Gedung dirobohkan, pemilik diusir, dan alasan hukumnya terdengar manis: “administrasi lahan tidak diperpanjang”. Padahal yang runtuh bukan hanya beton, tapi wibawa hukum itu sendiri.
Di balik reruntuhan, terselip aroma uang besar. Konon, bohir di balik proyek pelabuhan dan lahan Batam Center sudah “mengamankan” sekitar Rp 800 miliar agar semua tetap tenang, dan berhasil.
Tidak ada mafia yang ditangkap, pejabat diperiksa, atau pengusaha tersentuh. Yang tersisa hanya puing, kemarahan rakyat, dan negara yang berpura-pura tidak melihat.
Gotong Royong ala Mafia
Indonesia dikenal karena budaya gotong royong. Di Batam, semangat itu tetap hidup, hanya saja dalam versi gelapnya.
Antara mafia lahan, oknum aparat, pejabat rakus, dan partai besar, terbentuk sebuah sinergi yang solid. Satu menandatangani, satu menekan, satu menghapus, satu menghitung setoran.
Semuanya bekerja dalam diam, dalam efisiensi yang bahkan kementerian pun tidak bisa menandingi. Mungkin tugas utama mereka memang bisu dan tuli.
Ironisnya, Purajaya dirobohkan tahun 2023, dua tahun sebelum PP 25 dan 28 Tahun 2025 lahir. Artinya, tindakan itu tanpa dasar hukum yang sah. Namun proyek reklamasi sudah berjalan, pancang sudah dipasang, alat berat sudah menggali laut, dan juklak-juknis belum ada.
Ketika hal ini ditanyakan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan, jawabannya enteng
“Itu urusan BP Batam.”
Padahal, undang-undang jelas menyebutkan bahwa reklamasi laut adalah kewenangan KKP. Tapi di republik logika terbalik ini, pelanggar hukum justru lebih percaya diri daripada penegak hukum.
Aktor Terlalu Cepat Main
Drama Purajaya tampak seperti film dengan sutradara mabuk. Semua aktor sudah punya peran, tapi ada yang terlalu bersemangat. Belum ada aba-aba, ekskavator sudah menari.
Belum ada izin, tanah sudah rata. Belum ada dasar hukum, proyek sudah jalan. Dan ketika publik bertanya, jawabannya klasik:
“Sesuai aturan yang berlaku.”
Masalahnya, aturan itu belum ada.
Prabowo dan Demokrasi 58 Persen
Lebih menyakitkan lagi, pemerintah pusat memilih diam. Presiden Prabowo, yang dulu berapi-api bicara soal “bersih-bersih korupsi,” kini seperti kehilangan suara.