Menggusur Melayu di Tanah Adat
Senada dengan Nek Awe, tokoh masyarakat Melayu di Pulau Rempang, Ketua organisasi Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Kramat), Gerisman Ahmad, menyebut masyarakat Rempang telah berada pada titik jenuh. Perlawanan terhadap perlakuan semena-mena yang dilakukan oleh BP Batam, dan pemerintah (pusat) dengan membiarkan pemaksaan yang dilakukan PT MEG, merupakan penjajahan modern yang lebih menyakitkan rakyat.
“PT MEG itu siapa? Sekarang PT MEG terlihat lebih berkuasa daripada pemerintah, karena dibiarkan. Kantor Camat dan Kantor Polisi tidak lagi digunakan sebagaimana mestinya. Kantor tersebut dikuasai PT MEG, mereka melakukan topografi, mengukur lahan warga masyarakat adat, dan jika ada yang berani bersuara langsung dibungkam dengan penyerangan, dan buntutnya warga masyarakat adat yang dipersalahkan, ditahan dan ditersangkakan,” ucap Gerisman Ahmad.
Seharusnya, kata Gerisman, PT MEG lebih dahulu mengurus masalah lahan ke BP Batam, dan BP Batam melakukan pendekatan kepada masyarakat, mengingat masyarakat adat di Pulau Rempang telah berdiam di pulau itu sejak tahun 1771, sesuai catatan pemerintahan Belanda. Menurut penuturan leluhur warga adat Melayu di Rempang, nenek moyang mereka telah berdiam di Rempang sejak 1883.
“Sudah banyak warga yang memiliki surat-surat serta sertifikat tanah atau setara dengan sertifikat tanah. Tetapi kepemilikan tanah tidak harus berpatokan pada surat-surat yang dikeluarkan pemerintah, mengingat pemerintah tidak pernah pro aktif memberi bantuan pengurusan surat atas tanah. Bahkan pada tahun 2002, Wali Kota Batam mengeluarkan surat edaran agar setiap instansi yang terkait dengan surat tanah menghentikan pengurusan surat tanah masyarakat adat di Rempang. Sebuah kezoliman yang dilakukan pemerintah daerah kepada rakyatnya,” kata Gerisman.
Menyinggung mafia tanah di Batam-Rempang-Galang, Gerisman menyebut salah satu contoh konkrit perampasan hak atas tanah dialami oleh PT Dani Tasha Lestari yang dimiliki oleh pengusaha Melayu.
“Satu-satunya perusahaan besar berbentuk hotel dan resort yang dimiliki oleh pengusaha Melayu, itu pun diusir dari tanahnya sendiri. Sdr Rury Afriansyah, pada dasarnya merupakan bagian dari masyarakat adat yang memiliki hak atas tanah ulayat. Masalah UWT (uang wajib tahunan) hanyalah sebagai administrasi, tetapi investasi yang sudah tertanam serta diperkuat dengan posisi sebagai bagian dari masyarakat adat, tidak seharusnya diperlakukan kejam, zolim, dan diusir dari tanahnya sendiri,” tegas Gerisman.
Pengusaha lain, kata Gerisman, bisa menguasai hingga 50 hektar atau 100 hektar. Tetapi Rury sebagai Ketua SRM (Saudagar Rumpun Melayu) sebagai satu-satunya pengusaha Melayu, yang berupaya dan telah terbukti membangun negerinya sendiri, diperlakukan semena-mena.
“Mana keadilan, di mana moral penguasa. Seharusnya ditanyakan benar-benar apakah tidak lagi mengelola tanah, atau masih akan mengelola, mengingat invesasi besar yang telah dibangun. Tidak seharusnya menghancurkan investasi yang begitu besar,” pungkas Gerisman./Red.