Laksana sifat seorang raja, maka Batak itu harus hormat terhadap siapa saja, peduli terhadap sesama dan lingkungan, cerdas, pandai, bijaksana dan taat terhadap hukum. Sayangnya saat ini telah terjadi degradasi moral sebab Batak saat ini bukan lagi Batak petarung, namun sudah menjadi orang yang manja.
“Nah, jadi sekarang sudah terjadi degradasi moral. Karena itu, seperti yang disampaikan oleh Bapak Presiden revolusi mental. Sekarang ini harus kita revolusi. Kita harus jadikan budaya itu menjadi identitas kita, melekat dalam kehidupan sehari-hari,” Poltak Sitorus melanjutkan.
Atas dasar itulah Poltak Sitorus mengajak seluruh masyarakat Toba dan orang Batak secara keseluruhan agar mengembalikan budaya Batak yang sesungguhnya.
Saat ini, Pemerintah Kabupaten Toba terus menyosialisasikan filosofi Batak Naraja yang berarti Batak itu harus peduli, harus sopan, harus taat hukum, dan harus menggunakan ilmu pengetahuan.
“Mari kita kembalikan keaslian budaya kita dengan gerakan ‘Pature Torus, Torus Pature’
agar budaya yang peduli, hormat, bijaksana dan taat aturan menjadi identitas kita yang sesungguhnya,” katanya menambahkan.
Raja Sitorus, tokoh masyarakat Desa Sihiong yang menjadi peserta dialog juga mengakui bahwa sesungguhnya budaya batak yang sesungguhnya sudah semakin terkikis.
“Dulu kalau ada bayi baru lahir, maka kita maranggap. Nah saat itu kita mainkan musik gondang, anak-anak itu diajari menortor, diajari bagaimana godang mula-mula, bagaimana gondang somba. Nah sekarang musiknya sudah disko-disko,” kata Raja Sitorus.
Dirinya sepakat dengan Bupati Toba, Poltak Sitorus bahwa budaya Batak yang sesungguhnya harus dikembalikan. Itu harus kita kembalikan itu,” ujarnya.
Kemudian Deny Siahaan menutup sesi dialog.
(Red)