SIKATNEWS.id | Di atas tanah tempat sejarah Melayu pernah menjejak, kini hanya tersisa puing-puing. Hotel Purajaya Beach Resort, berdiri anggun di tepian Hang Lekiu, Nongsa, Kepulauan Riau – kini tinggal kenangan.
Kemegahan bangunan tersebut roboh, dihancurkan. Tapi bukan oleh waktu, bukan pula oleh gempa, melainkan oleh kekuasaan yang diduga berjalan tanpa hukum.
Kisahnya bukan sekadar soal satu bangunan yang hilang, tapi tentang bagaimana hukum bisa kalah oleh surat perintah sepihak. Tentang bagaimana tanah yang dulu disebut pusaka, kini jadi ajang rebutan.
Pemilik hotel, PT Dani Tasha Lestari, kini digambarkan sebagai korban dari praktik mafia tanah. Nama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) bahkan terseret dalam dugaan keterlibatan, seperti bayang-bayang panjang yang mengendap di balik layar.
Dan pada Rabu, 26 Februari 2025 lalu, suara yang lama terpendam itu meledak di Senayan. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan perwakilan masyarakat adat Melayu, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyuarakan apa yang selama ini disimpan dalam dada banyak orang.
“Tanpa putusan pengadilan, itu perobohan tidak sah. Itu melanggar hukum,” tegas Habiburokhman.
Ia mengingatkan, eksekusi hanya sah jika dilakukan berdasarkan perintah lembaga peradilan. Bukan sekadar berdasarkan kontrak. Bukan pula atas nama kekuasaan modal.
Ia menyentil pula keterlibatan aparat penegak hukum yang disebut-sebut ‘membantu’ proses pembongkaran.
“Kalau hukum bisa dieksekusi tanpa putusan, maka hukum tak lagi punya wibawa,” lanjutnya.
Karena itu, Komisi III DPR RI mendorong pembentukan Panitia Kerja (Panja) khusus untuk menyelidiki dugaan praktik mafia lahan di Batam.
Saksi-Saksi Melayu Bicara
Megat Rury Afriansyah, perwakilan masyarakat adat Melayu, berdiri dengan suara bergetar. Di forum itu ia mengatakan: “Yang janggal adalah, hotel dirobohkan saat proses hukum masih berjalan. Tak ada putusan pengadilan. Ini menyakitkan, ini menampar kami.”