SIKATNEWS.id | Tindakan Badan Pengusahaan (BP) Batam yang mengalokasikan lahan Hotel Pura Jaya, Nongsa, dari PT Dani Tasha Lestari (DTL) ke PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP) merupakan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Meski Pengadilan Negeri (PN) Batam mengalahkan gugatan PT DTL melawan PT PEP namun unsur melawan hukum telah terbukti dalam kasus itu.
“BP Batam nggak bisa (alokasi lahan Hotel Pura Jaya di Nongsa, Batam) ujuk-ujuk diberikan kepada perusahaan lain, nggak bisa, salah itu. Saya tahu BP Batam itu banyak penyimpangan dalam alokasi lahan. Itu tidak bisa dibiarkan, pihak perusahaan (DTL – pemilik Hotel Pura Jaya) harus terus melakukan upaya hukum untuk mendapatkan haknya. Tindakan itu (merobohkan bangunan hotel Pura Jaya) tindakan illegal,” kata Hendri Firdaus, SH, mantan Kasubdit Pertanahan dan Kawasan Khusus Kementerian Dalam Negeri RI, kepada wartawan melalui sambungan telepon di Jakarta (16/12/2024).
Hendri Firdaus usai purna tugas dari Kementerian Dalam Negeri, kini menjadi pembicara ahli dalam sejumlah seminar dan lokakarya pertanahan dan kawasan khusus.
“Hak prioritas yang dimiliki perusahaan yang lama (PT DTL) antara lain hak untuk memperpanjang sewa tanah yang diperkuat oleh Sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan). Salah jika BPN (Badan Pertanahan Nasional) mencabut HGB sebelum adanya kekuatan hukum,” kata Hendri Firdaus.
Menurutnya, tidak ada dasar hukum rencana pengembangan usaha atau yang dikenal dengan business plan dijadikan sebagai dasar untuk mencabut.
“Busines plan dibuat untuk menunjukkan rencana pengelolaan lahan. Penilaiannya hanya berkisar pada kesesuaian dengan peruntukan, bukan lolos atau tidak mendapatkan perpanjangan alokasi lahan,” jelasnya.
Hendri Firdaus merasa lucu jika BP Batam menjadikan business plan sebagai dasar untuk memperpanjang atau tidak memperpanjang alokasi lahan, sementara bangunan hotel masih berdiri megah di lokasi ketika itu.
“Dasar hukumnya mana? Apakah penilaian terhadap business plan lebih tinggi daripada undang-undang? Yang jelas, dari sisi mana pun, alokasi lahan harus diprioritaskan kepada pihak yang telah membangun, apalagi di situ ada bangunan. Dengan diberikan kepada perusahaan lain, tindakan tersebut menjadi perbuatan melawan hukum dan perobohan jelas tidak sah,” ucapnya.
Dalam kesaksian para ahli di kasus perdata PT DTL melawan PT PEP sebagai tergugat dan BP Batam sebagai turut tergugat, para saksi menyebut Peraturan Pemerintah RI nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, pada pasal 37 ayat (4) menjelaskan: Tanah yang Dikuasai Langsung oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penataan kembali penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan menjadi kewenangan Menteri dan diberikan prioritas kepada bekas pemegang hak dengan memperhatikan enam alasan.
Enam alasan untuk mempertahankan lahan tetap diberikan kepada PT DTL. Alasan itu, antara lain:
a. tanahnya masih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak;
b. syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak;
d. tanahnya masih sesuai dengan rencana tata ruang;
e. tidak dipergunakan dan/atau direncanakan untuk kepentingan umum;
f. sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan
g. keadaan tanah dan masyarakat sekitar.
Dasar yuridis itu, menurut Hendri Firdaus, sangat kuat untuk membatalkan pengalokasian tanah kepada pihak ketiga, dalam kasus Hotel Pura Jaya, adalah PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP).