Meski Lembaga Adat Melayu (LAM) telah mengirim surat resmi ke Presiden, namun sampai hari ini tidak ada respon, tidak pernah dijawab. Kontradiksi ini makin terasa ketika kita masuk ke museum nasional dan museum budaya besar di Indonesia.
Ada ruang untuk Jawa, Sunda, Batak, Minahasa, Dayak, Toraja, Papua. Tapi di mana Melayu? Padahal bahasa persatuan yang kita pakai tiap hari lahir dari bahasa Melayu. Justru karena dianggap ‘default,’ Melayu jadi budaya yang dipakai tapi tak pernah benar-benar diakui.
Perobohan hotel Purajaya malah dirancang di dalam kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, di Batam Center. Di gedung itulah perencanaan perobohan Hotel Purajaya dimatangkan dalam sejumlah pertemuan.
Itulah wajah politik Indonesia, simbol dipakai, substansi ditinggalkan. Di Istana, Melayu dipuji. Di museum, Melayu dihapus. Di Batam, Melayu dipijak. Cash lebih kuat dari hukum. Simbol budaya jadi kostum politik. Negara memilih diam.
Pelabuhan Batam Center Dikuasai Pasifik Group
Dari sisi seseorang pegiat properti dan lingkungan hidup, Leo menyampaikan, masalah Pelabuhan Feri Internasional Batam Center, yang dibangun dan dikelola oleh PT Synergi Tharada, kini diberikan kepada perusahaan baru yang tidak berpengalaman mengelola pelabuhan.
PT Metro Nusantara Bahari, yang kini mengelola pelabuhan, adalah konsorsium Pasifik Group, yakni mafia yang menguasai Hotel Purajaya dan merobohkan hotel mewah itu pada 21 Juni 2023 yang lalu itu.
“PT Sinergy Tharada menjadi korban mafia yang ingin menguasai pelabuhan di Batam Center. Kelak, pelabuhan tersebut akan direklamasi hingga seluas 1.400 hektar, sehingga pelabuhan itu akan digeser dengan mudah, karena dikuasai oleh satu kelompok mafia lahan,” kata Leo.
Situasi Rempang Saat Ini
Selain itu, seorang warga Rempang, Riki mengungkapkan, kini konsorsium lainnya telah menguasai Pulau Rempang tanpa membayar uang wajib tahunan (UWT) dan tanpa modal apa pun. Perusahaan yang rencananya akan menguasai 17.000 hektar itu, kini mulai mengusir warga asli tempatan di Rempang dan Galang.
“Mereka menggunakan warga pendatang sebagai ‘proxi,’ dengan modus ada penduduk yang telah bersedia dipindahkan (relokasi) dan telah diberikan rumah dengan status tanah Hak Milik,” ungkap Riki.
“Yang menjadi pertanyaan, apa dasarnya BP Batam dapat memberikan sertifikat tanah dengan Status Hak Milik (SHM) di Rempang? Ini semua pekerjaan mafia,” pungkas Riki.
Sumber : Rilis Hotel Purajaya
Editor : Red.