SIKATNEWS.id | Bahasa Indonesia lahir dari rahim Bahasa Melayu dan bahasa Melayu lahir di Pulau Penyengat yang dapat disebut sebagai tanah suci kecil di Kepulauan Riau. Namun ironinya, di tempat akar bangsa ini tumbuh, Melayu justru semakin tersisih dari panggungnya sendiri.
“Melayu yang Patuh, Melayu yang Runtuh”. Pepatah ini mencerminkan dilema antara mempertahankan nilai-nilai tradisional yang kuat, seperti kepatuhan kepada pemimpin, dan kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman, yang jika gagal dapat berujung pada kemunduran atau keruntuhan.
Budaya Melayu mengalir di mana-mana, dari Betawi hingga Sambas, dari Pontianak sampai Natuna. Tapi di tanah asalnya sendiri, Provinsi Kepri, masyarakat tempatan makin terpinggirkan. Anak negeri menjadi penonton, tanahnya diambil, suaranya ditenggelamkan.
Otonomi daerah yang lahir tahun 2000 seolah hanya separuh jalan. Cita-cita Kepri berpisah dari Riau bukan untuk sekadar ganti nama provinsi, melainkan agar anak tempatan dapat berdiri tegak di tanah sendiri.
Namun, dua dekade terlewatkan, cita-cita itu menguap. Pemerintah bersembunyi di balik undang-undang, sementara Melayu makin terinjak dari ekonominya, budayanya, hingga marwahnya.
Sejarah yang Terlupa
Tahun 2000, ribuan masyarakat Kepri turun ke Jakarta, menuntut pemekaran provinsi. Gelombang besar itu lahir dari rasa sakit, karena selama berpuluh tahun, Kepri diperlakukan sebagai anak tiri oleh pusat.
Kini, dua puluh lima tahun berselang. Dua puluh tiga usia setelah provinsi Kepri berdiri, gejolak itu bisa terulang. Sebab ketimpangan tetap nyata, yakni otoritas ekonomi disedot oleh lembaga seperti BP Batam, sementara anak daerah hanya menjadi penonton di rumah sendiri.
Poros Maritim yang Nyaris Punah
Kepri adalah wajah depan Indonesia di Selat Malaka, jalur emas dunia yang kini tak lagi digarap dengan visi besar. Potensi itu tak digenggam oleh anak negeri, melainkan oleh para penguasa dan investor yang hanya melihat laut sebagai angka, bukan jiwa.
Dari Jakarta, tokoh pergerakan Melayu Datuk Sarjinan masih bersuara lantang, mengingatkan bahwa perjuangan Kepri bukan sekadar soal tanah dan izin, tapi soal peradaban yang hampir punah.