“Yang membuat saya heran, ada apa penegak hukum masih enggan menaikkan masalah tersebut ke tingkat penyidikan. Pncabutan alokasi lahan itu sendiri merupakan pelanggaran hukum, ditambah dengan perobohan hotel yang merupakan perampasan hak, dan bagian dari kejahatan pertanahan,” tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan perobohan Hotel Purajaya di Batam tidak sah secara hukum karena dilakukan tanpa perintah pengadilan. Hal ini diungkapkannya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan perwakilan masyarakat adat Melayu yang berlangsung di Jakarta beberapa waktu lalu.
Dalam forum itu, Habiburokhman mempertanyakan keterlibatan aparat penegak hukum dalam proses perobohan tanpa adanya dasar hukum yang jelas. Menurutnya, dalam eksekusi hukum yang sah, pengadilan harus menjadi pihak yang mengoordinasikan pelaksanaan eksekusi dan mengeluarkan putusan terlebih dahulu.
“Yang saya tahu, kalau eksekusi yang mengkoordinir adalah pengadilan, dasarnya harus putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan pengadilan, maka bukan eksekusi,” ujar Habiburokhman, kepada pusat pemberitaan RRI.
Atas dasar tersebut, Komisi III DPR RI mendorong pembentukan Panitia Kerja (Panja) guna mengawasi dan menyelidiki dugaan praktik mafia lahan di Batam. Panja itu diharapkan dapat mengungkap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas tindakan yang dinilai melanggar hukum. Namun akhirnya, akibat sikap dan tindakan Kepala BP Batam, Panja yang dibentuk terbentur dengan lembaga.
Panja Basa Basi
Menurut aktivis Monica Nathan, peristiwa rusuh di Jakarta dan sejumlah tempat pada akhir Agustus hingga awal September 2025, bukanlah bualan belaka, terkait dengan perilaku Anggota DPR RI yang suka dengan retorika basi.
Persoalan rakyat di Rempang dan persoalan perobohan Hotel Purajaya, dijadikan latar teatrikal badut Senayan, khususnya wakil dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kepri. Di atas kertas, gerakan itu terdengar rapi. Panja Mafia Tanah yang dibentuk DPR, kata Monica, akan terhenti tanpa solusi.
Wakil Wali Kota Batam sempat mengumumkan moratorium reklamasi. Secara teori, kata Monica, artinya semua proyek reklamasi dihentikan sampai audit selesai. Tapi faktanya, pancang-pancang tetap tegak di Teluk Tering.
Panja Komisi VI dibuat untuk evaluasi tata kelola lahan Batam. Panja Komisi III dibentuk untuk melawan mafia tanah. Mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus.
“Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering sepertinya tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” pungkas Monica Nathan./Red.