Peristiwa memalukan mengguncang Labuhanbatu. Dua wartawan dihajar debt colector di jalanan, hanya karena mencoba mencegah penarikan kendaraan secara paksa.
Bogem mentah mendarat di wajah mereka, di ruang terbuka, di depan publik. Inilah potret nyata, hukum seakan lumpuh, premanisme berjaya.
Indonesia memang kerap membanggakan diri sebagai negara hukum. Tapi apa gunanya slogan besar itu jika di lapangan, hukum justru dikangkangi oleh sekelompok “Mata Elang” yang bertindak sewenang-wenang?
Peristiwa di Labuhanbatu bukan sekadar penganiayaan. Itu adalah tamparan keras bagi wibawa kepolisian, dan pukulan telak bagi martabat negara hukum.
Hukum sudah tegas, tapi preman masih merajalela. Mari kita buka regulasi yang berlaku:
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan, eksekusi objek fidusia hanya dapat dilakukan melalui dua cara: pelaksanaan parate eksekusi berdasarkan sertifikat fidusia, atau melalui penetapan pengadilan. Itu pun harus dilakukan secara beradab, bukan dengan kekerasan di jalan umum.
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 mempertegas: kreditur tidak bisa serta-merta menarik objek jaminan fidusia tanpa kesepakatan dengan debitur atau putusan pengadilan. MK menolak praktik penarikan paksa yang merendahkan martabat warga.
- Pasal 365 KUHP jelas mengancam siapa pun yang mengambil barang orang lain dengan kekerasan di muka umum sebagai tindak pidana perampasan.
Itu artinya, debt colector yang merampas kendaraan di jalan sejatinya bisa dijerat pidana murni, bukan sekadar sengketa perdata.
Dengan dasar hukum sekuat ini, tidak ada alasan bagi aparat untuk membiarkan praktik “Mata Elang”. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, preman berbaju debt collector masih leluasa menguasai jalanan.
Mereka bertindak bak polisi jalanan, memutuskan siapa berhak membawa kendaraan, siapa harus menyerah, dan siapa yang harus dipukul bila melawan.
Publik tidak butuh janji, publik butuh tindakan. Sudah terlalu banyak janji manis dari aparat. Publik tidak lagi percaya kata-kata, publik menunggu aksi.
Tuntutan warga saat ini cukup sederhana:
- Tangkap Pelaku Kekerasan. Semua debt collector yang menganiaya wartawan wajib segera dijadikan tersangka. Tidak ada ruang “damai” dalam kasus kekerasan.
- Usut Leasing yang Terlibat.
Debt collector bukan entitas mandiri. Mereka dibayar leasing. Karena itu, perusahaan leasing yang terbukti mengerahkan preman harus ikut bertanggung jawab, bahkan sampai pencabutan izin operasional. - Bersihkan Jalanan dari Mata Elang.
Operasi sapu bersih wajib dilakukan. Labuhanbatu tidak boleh lagi jadi ladang bebas bagi preman jalanan. - Kanal Aduan dan Perlindungan Warga.
Kapolres harus membuka saluran pelaporan aman, serta menjamin perlindungan hukum bagi pelapor dari ancaman balasan. - Proses Hukum yang Transparan.
Setiap perkembangan kasus harus dibuka ke publik. Transparansi adalah cara mengembalikan kepercayaan masyarakat. Lalu, diam bukan pilihan.
Jika Kapolres tidak bertindak, akibatnya rasa aman hancur. Warga hidup dalam teror di jalanan. Supremasi hukum runtuh. UU dan putusan MK hanya jadi pajangan.
Pers dibungkam, wartawan akan takut meliput, demokrasi kehilangan mata dan telinga dan premanisme semakin brutal, ketika satu kasus dibiarkan, yang lain akan makin berani./R. Waruwu.