Namun seiring berjalan waktu, kebijakan non-intervensi kian melemah, karena catatan
sejarah ASEAN menunjukkan bahwa hal itu pernah dikesampingkan dalam beberapa kasus,
seperti kudeta Myanmar pada 2007 yang mana pada akhirnya negara-negara di ASEAN memilih
untuk terlibat. Pada kasus Rohingya juga membuktikan bahwa kebijakan ini mulai melemah
karena ASEAN mulai mengenyampingkan prinsip non-intervensi dan mengadakan pertemuan
bersama sembilan pemimpin ASEAN dan kepala junta militer Myanmar, Sr. Jenderal Min Aung
Hlaing, di Jakarta pada 24 April 2021. Dalam pertemuan ini menghasilkan sebuah perjanjian
perjanjian yang mana Myanmar harus menghentikan kebrutalannya terhadap Rohingya, semua pihak harus menemukan solusi damai, dan delegasi ASEAN akan mengunjungi Myanmar untuk berbicara dengan para pihak yang terlibat. Karena pendekatan ini, ASEAN membuktikan telah
berjuang untuk menyelesaikan krisis Rohingya. Myanmar mengkritik campur tangan berlebihan
ASEAN, yang bertentangan dengan kebijakan non-intervensinya.
Etnis Rohingya merupakan etnis yang dianggap sebagai sebuah ancaman bagi negaranya
sehingga hak-haknya sebagai warga negara tidak diakui dan kehilangan perlindungan nasional, hal
ini membuat mereka mendapatkan diskriminasi dan perlakuan tidak layak di negara yang mereka
tinggali. Negara-negara di ASEAN menunjukkan keperduliannya terhadap etnis Rohingya yang
kehilangan hak kewarganegaraannya melalui jalur diplomasi, hal ini membuktikan ASEAN
mempertimbangkan prinsip non-intervensi karena memilih untuk terlibat dalam membantu etnis
Rohingya, meskipun menuai kecaman dari negara Myanmar sendiri karena dianggap bertentangan
dengan kebijakan non-intervensi, namun ASEAN memilih untuk membantu menemukan jalan
tengah terhadap permasalahan ini.
Penulis mendukung langkah-langkah yang diambil ASEAN untuk memilih terlibat
terhadap permasalahan etnis Rohingya yang terjadi di Myanmar, karena penulis memandang kalau
prinsip non-intervensi tidak dapat diterapkan di segala bidang, terkhusus yang melanggar hak asasi manusia.
Prinsip Non-intervensi merupakan prinsip yang baik karena memiliki tujuan agar setiap
negara anggotanya saling menghormati satu sama lain dan tidak terlibat dalam urusan masing-
masing negara, dan prinsip tersebut baik untuk diterapkan di berbagai bidang seperti penghormatan terhadap budaya, peraturan dan ideologi negara, namun tidak tepat diterapkan dalam situasi yang sudah melanggar hak asasi manusia. Bahkan di satu sisi akibat prinsip tersebut, ASEAN kian menuai kecaman internasional karena dianggap tidak dapat menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM Internasional Etnis Rohingya tersebut. Prinsip Non-intervensi seharusnya
dikaji ulang sesegera mungkin agar terdapat kejelasan terhadap ranah-ranah mana yang harus
dihormati dan tidak boleh dicampuri, dan ranah-ranah mana yang memperbolehkan negara lain untuk ikut campur.
Dalam penulisan opini ini, kami bekerjasama dalam menganalisis kasus Prinsip Non-
Intervensi ASEAN terhadap isu Rohingya Akibat Konflik Kudeta Militer di Myanmar; diantaranya
adalah, Widya Sipayung, Shelsa Umaya Nautika Kasenda, Yemima Putri, Hanna Putruhu,
Maxleinder Rikumahu, Valens Marcell Kalambe Tina, Jeremia. Jadi penulis bersama beberapa
rekan merupakan mahasiswa prodi Hubungan Internasional dari Universitas Kristen Indonesia,
sehingga kami tentu akan menggunakan perspektif hubungan internasional dalam menganalisis
konflik yang telah menjadi isu keamanan global tersebut pada masa kini.
Sumber: Maxleinder Rikumahu – Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia
(Tim)