Pembongkaran Tanpa Putusan Pengadilan, Keadilan Bagi Hotel Purajaya Dipertarnyakan

Rury tidak bicara sebagai pebisnis. Ia bicara sebagai orang Melayu yang tanah leluhurnya diperlakukan seperti tanah kosong tak bertuan.

Dan jika ada yang bisa bicara soal luka tanah, maka itu adalah Tok Maskur, Ketua Lembaga Adat Melayu Provinsi Kepulauan Riau. Ia mengatakan, Hotel Purajaya bukan cuma tempat inap, tapi juga saksi sejarah berdirinya Provinsi Kepri.

“Kini, sejarah itu diratakan oleh alat berat. Bukan oleh pengadilan, tapi oleh tangan-tangan kekuasaan. Tanah Melayu ini sudah lama dizalimi, dan sekarang kita kembali menyaksikan pengulangan,” ucap Tok Maskur.

Dokumen yang Bicara
Tak bisa dibantah, pembongkaran dilakukan berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK) yang dikeluarkan oleh PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP), bernomor PEP-002/VI.2023 tertanggal 14 Juni 2023.

Perusahaan ini menunjuk PT Lamro Martua Sejati (LMS) sebagai pelaksana pembongkaran. Direktur PT PEP, Jenni, yang berkantor di Ruko Grand Orchid Blok A1 No. 2B, Batam Kota, menandatangani surat penugasan itu. Sementara Robert Sitorus, Direktur PT LMS, bertugas melaksanakan pekerjaan teknis di lapangan.

Kontrak ditandatangani pada 8 Juni 2023, mencakup pekerjaan menyeluruh: dari pengosongan isi hotel, pembongkaran bangunan, hingga meratakan tanah. Nilai kontraknya bersifat tetap, tanpa eskalasi biaya di kemudian hari. Dan semua biaya—dari alat berat, asuransi tenaga kerja, hingga dokumentasi proyek—ditanggung penuh sesuai kontrak.

Durasi pelaksanaan ditetapkan selama 120 hari kalender, dihitung sejak berita acara dimulainya pekerjaan ditandatangani. Dan pada bagian akhir SPK disebutkan, ketentuan tambahan bisa dibicarakan kembali jika dianggap perlu oleh kedua belah pihak.

Namun pertanyaannya sederhana: Dimana putusan pengadilan?

Sebuah Perintah Tanpa Pengadilan
Inilah titik paling genting dari cerita ini. Karena meski SPK berbicara detail soal biaya dan pekerjaan, ia tak menyebut satu hal paling krusial dalam perkara tanah: dasar hukum final dan mengikat.

Tanpa itu, maka perintah kerja hanyalah perintah sepihak. Dan ketika negara membiarkan hal ini terjadi, maka kita tidak sedang bicara soal bisnis atau investasi, melainkan soal pelecehan terhadap hukum itu sendiri.

Memburu Keadilan
Di balik semua ini, Panja DPR bukan sekadar alat birokrasi. Ia kini menjadi harapan barangkali yang terakhir bagi masyarakat yang merasa tanahnya dijarah secara sah.

Habiburokhman menutup RDPU dengan kalimat singkat, tapi membakar: “Kami akan bongkar semua pihak yang bermain. Kami ingin keadilan, bukan untuk pengusaha, tapi untuk masyarakat yang selama ini dibungkam.”

Dan hingga hari ini, puing-puing Hotel Purajaya masih berserakan. Tapi yang lebih menyakitkan dari bangunan yang hilang adalah ketika keadilan ikut runtuh bersamanya./Red.