SIKATNEWS.id | Sejumlah tokoh masyarakat di Pulau Rempang menyebut pemerintah dan pemerintah daerah serta BP Batam telah melakukan kezoliman terhadap masyarakat adat Melayu di Pulau Batam dan Rempang.
”Berbagai macam cara yang dilakukan oleh warga masyakat adat Melayu sebagai reaksi terhadap perlakuan tidak adil pemerintah dan BP Batam, khususnya masalah tanah milik nenek moyang kami. Saya tegaskan, kami tidak akan mundur sejengkalpun mempertahankan kampung halaman kami, ini tanah kami, ini hidup kami,” kata Zubri, seorang tokoh Melayu di Rempang, kepada media ini pada Minggu (09/02).
Dari tindakan pengusiran sejak 2023 oleh Tim Terpadu yang dibentuk BP Batam, kata Zubri, hingga kini warga masyarakat adat Melayu yang tinggal di pulau itu merasa tidak tenang. Dampaknya, masyarakat kini memendam amarah yang bisa saja terjadi Amok Melayu (melakukan serangan yang dahsyat dan nekat).
“Kami setiap hari diintimidasi oleh oknum-oknum yang mengaku diperintah oleh BP Batam, pemerintah daerah, maupun PT MEG (PT Makmur Elok Graha). Kami dihadapkan dua pilihan, melawan atau mati di tanah sendiri,” ucap Zubri.
Tokoh masyarakat wanita yang kini dikenakan status tersangka oleh Polresta Batam-Rempang-Galang (Barelang), Siti Hawa alias Nenek Awe (67 tahun), mengaku tertindas akibat perlakuan PT MEG. Pasalnya, Pulau Rempang ini, khususnya Sembulang, saat ini dikuasai oleh personil dari perusahaan (PT MEG). Kantor resmi Camat dan bahkan kantor Polisi di kawasan itu, kata Nek Awe, tidak lagi dikendalikan oleh pemerintah sebagai pelindung rakyat.
“Seperti tidak ada pemerintah yang melindungi rakyatnya di sini (Kampung Sembulang dan Pulau Rempang). PT MEG kelihatan lebih berkuasa daripada pemerintah dan aparatur keamanan. Kami setiap hari berjaga di sini (pos keamanan yang dibangun warga), siang dan malam, selama 24 jam setiap hari. Saya sudah siap menghadapi apa pun yang terjadi. Tangan saya patah sejak 3 bulan lalu dan sampai sekarang belum bisa berfungsi normal. Tiba-tiba sekarang saya dijadikan tersangka atas perampasan kemerdekaan orang, pegawai PT MEG. Perampasan terhadap kemerdekaan kami, kenapa tidak dipertimbangkan,” ujar Nek Awe.
Dia mengisahkan kejadian pada 17 Desember 2024 malam. Siti Hawa mendengar ada keributan di posko Sembulang Hulu. Informasi itu yang membuat Siti Hawa alias Nek Awe mendatangi posko.
“Saya melihat ada tiga orang pegawai PT MEG di posko setelah peristiwa penyerangan warga. Saya hanya meminta pertanggungjawaban pegawai PT MEG dengan cara meminta jangan dulu pergi datang polisi untuk menjelaskan kenapa terjadi penyerangan. Kami tidak memaksa, tidak ada penyerangan atau ancaman penyerangan, kenapa bisa dituduhkan merampas kemerdekaan orang lain,” tutur Nek Awe.
Rekannya warga Sembulang mengalami luka parah di bagian kepala, tetapi justru Nek Awe yang sedang berupaya meminta penjelasan terhadap penganiayaan yang diderita warga, kini menjadi tersangka.
“Tidak ada lagi pemerintah sebagai pelindung di daerah ini (Rempang),” ujarnya lagi.