Monica Nathan: Luka Hotel Purajaya Berubah Jadi Pergerakan Masif di Batam

“Saya gagal mempertahankan apa yang Papa bangun. Padahal itu hadiah perkawinan perak dari Papa untuk Mama,” ucapnya pelan.

Ibunda yang berdarah bangsawan hanya meminta satu hal, yakni agar interior dibuat dengan tema dan nuansa Melayu, kayu ukir, warna keemasan, motif tanjak di dinding. Semuanya dirancang untuk menjadi rumah bagi tamu-tamu yang ingin merasakan hangatnya jiwa Melayu.

Kini, semua itu tinggal kenangan. Dengan hilangnya Purajaya, rasa bersalah itu menancap. Rurry tahu, Purajaya bukan sekadar bisnis, tapi itu simbol marwah keluarga dan masyarakat Melayu.

Kepri Memanas
Dan Hotel Purajaya bukan satu-satunya luka. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak titik di Kepri memanas. Dari Rempang yang penuh tangisan, hingga kampung-kampung tua di Barelang yang terancam digusur tanpa solusi.

Tokoh dan masyarakat Melayu diusik dengan cara yang tak adil, rumah dirobohkan, izin dicabut, sejarah dihapus. Mereka bukan menolak pembangunan. Mereka hanya ingin dihormati. Tapi yang datang bukan dialog, melainkan intimidasi berseragam.

Rakyat melihat bagaimana lahan, laut, dan nama baik dijadikan komoditas. Pembangunan hanya berpihak pada segelintir, sementara masyarakat tempatan didepak dari tanah kelahirannya sendiri.

Rezim baru datang dengan janji “transformasi”, tapi yang terasa di Kepri adalah transaksi. BP Batam memoles diri dengan kata-kata digitalisasi, green development, dan investasi asing, tapi di baliknya hilang rasa, hilang marwah, hilang keadilan.

Dari Bahasa ke Kejujuran
Bahasa Indonesia adalah anugerah besar bangsa ini. Tapi jangan lupa bahwa ia lahir dari kejujuran Melayu, dari lidah yang lembut, dari hati yang takut kepada Allah, dari budaya yang menjunjung adab dan marwah.

Kejujuran itu kini jadi barang langka. Di meja rapat, di kantor izin, bahkan di pengadilan, bahasa kita jadi topeng. Indah di bibir, busuk di perbuatan. Negara yang dulu berutang pada Penyengat kini menagih kepada rakyatnya dengan cara yang kasar.

Kepri: Negeri yang Dihapus dari Peta Hati
Nama “Riau” kini lebih dikenal di daratan. Sedangkan “Kepulauan Riau”, tempat bahasa lahir, nyaris lenyap dari peta perhatian nasional. Padahal, di pulau-pulau inilah bangsa ini belajar arti kesantunan, belajar menulis dengan logika, dan berbicara dengan rasa.

Kini, masyarakat tempatan hidup di bawah bayang-bayang otoritas yang tak kenal sejarah. Mereka diatur, digusur, direklamasi, tapi tak pernah benar-benar diajak bicara. Padahal, dari laut dan bahasa mereka lah bangsa ini lahir. Kalau bukan Kepri yang disebut “daerah istimewa”, lalu siapa?

Bahasa yang Kembali Menuntut
Hotel Purajaya mungkin telah dirobohkan. Tapi simbolnya tak bisa dihancurkan. Ia akan hidup di hati orang-orang yang masih percaya bahwa keadilan tidak boleh tunduk pada izin, dan marwah tidak bisa dibeli oleh proyek.

Mungkin bangsa ini perlu belajar lagi dari bahasa yang lahir di Penyengat, bahasa yang jujur, beradab, dan penuh rasa malu kepada Tuhan. Karena jika negara terus menindas tanah asal bahasanya, maka cepat atau lambat, bahasa itu sendiri akan kehilangan maknanya. Negeri ini boleh menulis ribuan peraturan, tapi tak akan berdaulat jika tak menghormati tanah di mana bahasanya lahir.

Penulis/Sumber : Monica Nathan.
Editor : Red.