“Kenapa?, karena sultan simbol kedaulatan, karena Penyengat pusat perlawanan intelektual dan karena Melayu harus diputus jadi dua, yakni Johor untuk Inggris, Riau-Lingga untuk Belanda,” sambungnya.
Monica menyebut, jejak itu tidak hilang. Ia tetap hidup di gurindam, di hikayat, di marwah Melayu.
Keistimewaan yang terlupakan, padahal faktanya jelas:
Bahasa Indonesia lahir dari Melayu Kepri. Kesultanan Melayu terakhir ada di Kepri. Pulau Penyengat adalah Bunda Tanah Melayu. Gurindam Dua Belas adalah kitab moral bangsa. Dan bahasa Melayu pernah jadi bahasa perdagangan dunia.
“Kalau Yogya dihormati karena Jawa, kenapa Kepri tidak dihormati karena Melayunya?,” singkatnya.
Bhinneka Tunggal Ika dan Kepri
Semboyan bangsa ini: Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu. Bahasa adalah perekatnya dan bahasa itu lahir dari Kepri.
Bahasa Melayu sederhana, tapi lentur. Mampu menyatukan Minang, Batak, Jawa, Bugis, Dayak, Papua. Budaya Melayu pun inklusif, maritim, kosmopolitan, menerima pengaruh Arab, India, Cina, Eropa, tapi tetap menjaga marwahnya,” jelasnya.
Inilah wajah sejati Bhinneka Tunggal Ika. Terbuka pada perbedaan. Kokoh dalam jati diri. Menatap Indonesia dari Kepri yang bukan provinsi muda lagi. Ia menyebut, provinsi ini merupakan warisan tua yang sempat ditenggelamkan kolonial dan kini saatnya naik ke permukaan.
“Kalau Yogya punya Jawa. Indonesia punya Kepri. Bukan soal besar atau kecil.
Tapi soal berani menunjukkan diri: inilah aku, Kepri — akar bahasa, budaya, marwah, dan persatuan Indonesia,” tutupnya.
Penulis/Sumber : Monica Nathan
Editor : Red.