Akibatnya, hak ulayat secara hukum positif belum dapat dijadikan dasar yuridis atas tanah Hotel Purajaya. Di Kepri dan Kota Batam sebagian dari Kepri, Adat Istiadat masih dijunjung tinggi. Tidak dapat dihindarkan, bahwa dari sisi adat, juga secara sosiologis dan kultural, pencabutan dan pengalokasian kepada pengusaha lain tidak dapat dibenarkan. Meski belum memiliki legitimasi administratif atas tanah adat di wilayah Batam.
2. Prinsip Hukum Adat Melayu yang Relevan
Dilihat dalam table di atas, dalam konteks hukum adat Melayu, terdapat beberapa prinsip penting yang dilanggar dalam perobohan Purajaya. Dalam logika hukum adat Melayu, tindakan perobohan tanpa musyawarah adat dianggap tidak sah dan melanggar norma adat (melanggar “undang-undang dalam adat”).
3. Hukum Adat dan Hukum Nasional
Berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: negara wajib menghormati hak masyarakat adat. Juga Pasal 3 UUPA 1960: pelaksanaan hak ulayat harus sesuai dengan kepentingan nasional dan peraturan perundangan. Serta Permen ATR/BPN No. 18/2019: pengakuan tanah ulayat harus melalui inventarisasi dan penetapan daerah. Pencabutan alokasi dari PT DTL ke PT PEP menghasilkan konflik adat dan sosial.
Alasannya, karena belum ada penetapan formal tentang hak ulayat di Batam, maka pengakuan adat Melayu dalam kasus Purajaya masih bersifat moral dan sosial. Meski secara legal formal tidak ditemukan dasar orisinalitas, namun penghormatan terhadap nilai adat tetap mengikat secara konstitusional. Sehingga Pemerintah Kota Batam dan BP Batam seharusnya melibatkan lembaga adat sebelum mengambil tindakan terhadap simbol budaya Melayu.
4. Pelanggaran terhadap Prinsip Penghormatan Adat
Dari kacamata hukum adat dan konstitusional: Tindakan merobohkan bangunan tanpa keputusan pengadilan dan tanpa pelibatan lembaga adat melanggar asas “penghormatan terhadap hak tradisional” (Pasal 18B UUD 1945).
Bila terbukti hotel tersebut memiliki nilai historis atau budaya Melayu, maka tindakan tersebut dapat dinilai melanggar prinsip perlindungan warisan budaya non-bendawi sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Dengan demikian, perobohan Purajaya dapat dinilai melanggar prinsip hukum adat, hukum agraria, dan hukum cagar budaya sekaligus.
Kesimpulan Analitis
Secara adat, perobohan Hotel Purajaya melanggar prinsip adat Melayu: dilakukan tanpa musyawarah, tanpa penghormatan terhadap nilai budaya dan sejarah. Secara konstitusional, negara (melalui BP Batam) seharusnya menghormati hak tradisional masyarakat adat (Pasal 18B UUD 1945).
Secara hukum positif, karena belum ada pengakuan formal terhadap tanah ulayat di Batam, maka hak adat belum memiliki kekuatan yuridis atas tanah. Namun, nilai hukum adat tetap dapat dijadikan dasar moral, sosiologis, dan konstitusional dalam gugatan perdata (PMH), khususnya untuk memperkuat argumen bahwa tindakan perobohan bertentangan dengan keadilan sosial dan budaya Melayu.
Makanya seruan Ketua Saudagar Rumpun Melayu untuk Boikot Sementara Pergerakan Semua Bisnis Pasific Group, layak untuk dilsaksanakan.
Sumber : Rilis Hotel Purajaya
Editor : Red.