Kasus Hotel Purajaya Disebut Sebagai Penistaan Terhadap Melayu, Pergerakan Semua Bisnis Pasifik Group Diminta Boikit Sementara

SIKATNEWS.id | Simak kasus pencabutan alokasi lahan milik PT Dani Tasha Lestari (DTL) yang dilakukan pada 2019 dan 2020, tanpa memberi kesempatan kepada perusahaan memperpanjang masa penyewaan, meski telah berdiri hotel mewah yang telah memberi devisa negara.

Dalam informasi yang dihimpun media ini pada Sabtu (11/10), kasus ini merupakan sebuah penistaan terhadap Melayu. Bukan saja penistaan dan tragedi investasi, melainkan langkah menghancurkan tatanan adat, khususnya adat Melayu.

Berikut analisis hukum adat secara spesifik terhadap kasus perobohan Hotel Purajaya di Batam, yang difokuskan dengan:
(1) kedudukan hukum adatnya,
(2) hubungan dengan hukum positif, dan
(3) peluang perlindungan hak menurut hukum adat dan nasional.

Fakta Pokok Kasus (Ringkas)
Mengenai fasilitas Hotel Purajaya & Lahan: Hotel Purajaya terletak di kawasan Nongsa, sebuah kawasan strategis dalam dunia pariwisata Batam. Hotel yang berdiri sejak tahun 1990-an, berdasarkan data dan fakta dokumen, lahan itu merupakan tanah negara yang dikelola oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam sebagai penguasa kawasan perdagangan bebas.

Di bawah kepemimpinan mantan Kepala BP Batam saat itu, Muhammad Rudi memberikan hak pengelolaan (HPL) dan hak sewa kepada pihak tertentu. Dalam kurun waktu 15 hari sejak diajukan oleh PT Pasifik Estatindo Perkasa, Surat Keputusan (SKEP) alokasi lahan langsung keluar. Padahal, menurut Peraturan Kepala BP Batam yang berlaku saat itu, seharusnya proses pengalokasian lahan minimal 45 hari, karena membutuhkan waktu proses administrasi dan tanggapan public.

Pencabutan yang dinilai tidak adil, adalah BP Batam tidak pernah memberi tahu PT DTL bahwa lahan yang ditempati telah diserahkan kepada perusahaan lain. Bahkan Salinan SKEP Pengalokasian Lahan tidak bisa diberikan kepada perusahaan yang memiliki aset ratusan miliar di atas tanah. Maka tidak heran jika muncul sengketa hukum dan fisik lapangan antara PT DTL dan PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP) terkait perjanjian sewa dan kepemilikan bangunan.

Perobohan Hotel Purajaya Pada 21 Juni 2023
Perobohan dilakukan oleh PT PEP melalui pihak ketiga tanpa putusan pengadilan (tanpa penetapan eksekusi) tidak sesuai dengan prinsip hukum horizontal, yakni tanah dan bangunan dua objek yang harus diperlakukan berbeda. Tanah bisa saja dimiliki satu pihak, dan bangunan serta fasilitas di atasnya dimiliki pihak lain.

Benarlah, jika pihak DTL didukung oleh tokoh adat Melayu, menilai tindakan itu melanggar hukum dan adat Melayu. Karena dilakukan terhadap bangunan yang memiliki nilai historis, simbol kebudayaan Melayu, dan dilakukan secara paksa tanpa musyawarah adat.

Keterlibatan Unsur Adat Melayu
Kesultanan Riau-Lingga dan lembaga adat Melayu Kepulauan Riau (LAM Kepri) menyatakan dukungan terhadap pemilik hotel dan mengecam perobohan karena dianggap “tidak menghormati marwah adat Melayu”.

Mereka menilai tindakan tersebut bukan sekadar pelanggaran hukum perdata, tetapi juga “penghinaan terhadap kearifan lokal dan simbol sejarah Melayu di Batam”.

Analisis Hukum Adat
1. Status Masyarakat Hukum Adat Melayu di Batam
Batam, sebagai bagian dari Kepulauan Riau, secara historis merupakan wilayah Kesultanan Riau-Lingga, dengan sistem adat Melayu yang masih hidup. Lembaga Adat Melayu (LAM Kepri) diakui oleh pemerintah daerah sebagai representasi masyarakat hukum adat Melayu.

Namun, pengakuan formal terhadap tanah ulayat Melayu di Batam belum ada secara administratif. Tidak terdapat Peraturan Daerah atau SK Walikota yang menetapkan wilayah adat Melayu tertentu di Batam.