Megat Rurry Afriansyah: Penjaga Generasi Baru
Megat Rurry Afriansyah, cucu bangsawan, meneruskan estafet perjuangan. Ia tidak rela pengorbanan ayahandanya yang ikut memperjuangkan lahirnya Provinsi Kepri terbuang sia-sia.
Apalagi dilecehkan oleh permainan mafia yang justru mendapat dukungan dari BP Batam dan pemerintah yang dulu diperjuangkan keluarganya. Megat Rury Afriansyah menyebutkan, ketika Hotel Purajaya, ikon Melayu yang dibangun keluarganya, dirobohkan tanpa kejelasan hukum, ia berdiri paling depan.
“Marwah Melayu bukan komoditas. Ia darah dan identitas,” tegasnya. Selasa (16/09).
Padaal, dari dengan keberhasilannya, Ia menghubungkan komunitas Melayu lintas negara, menegaskan bahwa Kepri adalah simpul budaya serumpun, bukan sekadar kawasan industri.
Kepri Terbuka untuk Semua—Dengan Rasa Hormat
Kepulauan Riau selalu menjadi persimpangan dunia. Kepri menyambut siapa saja yang ingin menjadi bagian dari kami. Semangat itu tetap hidup.
Tetapi, seperti tamu yang santun, setiap pendatang dan investor diharapkan menghargai tuan rumah, ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menjaga kelestarian alam serta budaya.
Mengapa Malaysia Lebih Mengakui Melayu Kepri
Malaysia menempatkan “Melayu” sebagai identitas kebangsaan inti dan menghargai Melayu dan Bumiputera. Komunitas Melayu Kepri otomatis dipandang sebagai keluarga besar “Bangsa Melayu” lintas negara.
Indonesia, dengan identitas majemuk, tidak memberikan status khusus meski bahasa nasional lahir dari akar Melayu Riau-Lingga.
Marwah yang Tak Bisa Dipadamkan
Dari Raja Ali Haji hingga Megat Rurry Afriansyah, dari Zulkarnain Kadir hingga Datuk Huzrin Hood, dari Kesultanan Riau-Lingga hingga Lembaga Adat Melayu, perjuangan Kepri adalah perlawanan atas penghapusan identitas dan hak tanah.
Meski suara adat kerap diabaikan, bahkan oleh pemerintah pusat, jantung Melayu ini tetap berdenyut. Budaya tidak bisa dibeli. Nama tidak bisa dicuri. Marwah tidak bisa dijual.
Penulis/Sumber : Monica Nathan
Editor : Red.