Oleh: Monica Nathan
SIKATNEWS.id | Pernahkah Anda masuk ke Museum Nasional di Jakarta? Gedung Gajah itu. Koleksinya lengkap: arca, naskah, keramik, etnografi dari Sabang sampai Merauke. Tapi saya mencari satu hal yang tak kunjung saya temukan, yakni narasi bahwa Melayu adalah akar Indonesia.
Bahasa Indonesia yang kita pakai setiap hari berasal dari Melayu. Ia dulu lingua franca Nusantara. Tapi di museum nasional, ia tidak mendapat ruang khusus. Di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) ada rumah adat Jambi dan Riau.
Ya, ada. Tapi, sekadar deretan di antara anjungan daerah lain. Tidak ada yang menegaskan bahwa dari sanalah lahir bahasa persatuan kita. Museum lain di Jakarta? Fatahillah bicara Batavia. Museum Wayang bicara Jawa. Museum Tekstil bicara batik. Melayu tetap samar.
Lalu saya teringat Hotel Purajaya. Sebuah hotel di Kepulauan Riau. Milik keluarga Megat Rury Afriansyah, tokoh Melayu. Hotel itu dirobohkan tanpa surat pengadilan. Tidak ada hukum, tidak ada perlindungan.
Rurry berkata: “Purajaya bukan sekadar bangunan. Ia simbol perjuangan keluarga Melayu. Ketika dihancurkan tanpa hukum, yang hilang bukan hanya dinding, tetapi martabat”.
Bagi Melayu, itu bukan sekadar hotel yang runtuh. Itu pesan warisan bisa dihapus kapan saja.
Lebih pahit lagi, masyarakat tahu ada mafia dari luar yang ingin menguasai Kepri. Mereka datang dengan uang. Dengan dukungan oknum aparat. Dengan politikus yang mau disogok.