Cita-Cita Awal Pembentukan Kepri, Sekarang Seolah Melayu Hanya Pelengkap

Dengan kata lain, pembentukan Kepri mestinya bukan sekadar pemekaran administratif, tetapi juga manifestasi identitas dan harga diri Melayu kepulauan.

Cita-Cita Itu Diabaikan
Ungkapan ‘diabaikan’ oleh pejabat di Kepri maupun Kota Batam, sepertinya tepat disematkan saat ini. Sebab perilaku penguaa zaman now mencerminkan kondisi dimana:
(a) Pejabat (terutama yang berkuasa) lebih sibuk dengan kepentingan politik atau pribadi, bukan misi awal perjuangan Kepri;
(b) Nilai-nilai budaya Melayu tidak menjadi roh dalam kebijakan atau pembangunan daerah.

Faktanya saat ini, Orang Melayu – sebagai kelompok tempatan – merasa terpinggirkan dalam pengambilan keputusan strategis. Begitu juga pembangunan lebih banyak menguntungkan kelompok tertentu, bukan masyarakat luas, apalagi para stakeholder yang memperjuangkan lahirnya provinsi ini.

Melayu sebagai ‘Pelengkap
Istilah “pelengkap” di sini sangat tajam. Ia mengandung makna bahwa: Budaya Melayu hanya dijadikan hiasan seremoni, dipakai saat acara adat, peresmian atau festival, tetapi tidak dilibatkan secara substantif dalam arah pembangunan.

Orang Melayu sendiri tidak banyak mendapat posisi strategis atau peran penting, hanya “diikutsertakan” untuk legitimasi kultural, juga; sebagai Identitas lokal mengalami komodifikasi (dipakai untuk kepentingan citra), bukan pemberdayaan.

Daripada sekadar menjadi keluhan, pernyataan ini bisa menjadi seruan moral dan politik agar :
(a) Pemerintah daerah kembali ke roh perjuangan awal Kepri: memperjuangkan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat tempatan;
(b) Budaya Melayu diintegrasikan ke dalam kebijakan publik, bukan hanya simbolik;
(c) Regenerasi kepemimpinan Melayu perlu diperkuat – bukan berarti eksklusif, tetapi inklusif dengan pijakan budaya sendiri;
(d) Masyarakat sipil, budayawan, dan akademisi dapat berperan sebagai penjaga narasi sejarah, agar cita-cita itu tidak padam.

Berdiri Tegak di Tanah Leluhur
Dari pembahasan tersebut di atas, kita mesti berdiri tegak di tanah yang lahir dari perjuangan panjang. Kepulauan Riau bukan hadiah. Ia buah dari tekad, darah, dan keringat para pejuang yang ingin melihat tanah kepulauan ini berdiri tegak – berdaulat, bermartabat, dan berbudaya.

Namun kini, mari kita jujur, cita-cita itu mulai diabaikan. Pejabat sibuk dengan kepentingan sendiri, sementara Melayu yang dulu menjadi roh perjuangan. Kini hanya menjadi pelengkap upacara. Simbol dipakai, adat ditampilkan, tapi suara Melayu perlahan diredam.

Kita tidak boleh diam. Budaya Melayu bukan sekadar pakaian adat di atas panggung, tapi jati diri yang mengalir dalam nadi kita. Kita harus berdiri tegak, menuntut keadilan, menegakkan kembali cita-cita pendirian provinsi ini. Melayu harus kembali menjadi subjek, bukan objek. Menjadi penggerak, bukan sekadar penonton. Marwah ini tidak boleh dibiarkan pudar!

Ingat! Melayu bukan pelengkap, Melayu adalah rumahnya Kepri. Dan rumah ini hanya akan tegak bila tuan rumahnya bangkit!

Sumber Profil Penulis : Rury Afriansyah adalah Ketua Saudagar Rumpun Melayu (SRM) Kota Batam. Organisasi sayap utama Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau. Saat ini, penulis sedang berjuang untuk mendapatkan keadilan terhadap bisnis hotel yang telah dirobohkan mafia tanah dan oknum pejabat.

Editor : Red.