Hotel Purajaya Terus Disorot, Akim dan Bobie Jayanto Selalu Disebut

SIKATNEWS.id | Terbaru, aktivis Monica Nathan dari Amerika menulis sebuah ungkapannya lewat media ini pada Rabu (17/09).

Ungkapan tersebut berbicara tentang polemik yang terjadi di Indonesia, dari awal merdeka hingga hotel Purajaya dirobohkan.

“Saya masih ingat suara itu. Merdeka… Merdeka… Merdeka. Dulu, pekik itu membuat bulu kuduk berdiri. Hari ini, entah kenapa, justru bikin perut mual,” ungkap Monica Nathan.

Laut Tanpa Garis
Sebelum 1945, laut kita tak bertuan. Kesultanan berdagang lintas samudra. Riau, Lingga, Bugis, Makassar. Semua pelabuhan saling terhubung. Tidak ada batas, tidak ada izin. Hanya adat, hanya mufakat.

Pedagang Belanda, Portugis, Inggris. Mereka datang untuk membeli, menukar, bernegosiasi. Mereka kuat, ya. Tapi tidak sepenuhnya berkuasa, karena laut, pada dasarnya adalah halaman bersama dan tuan rumah tetap dihargai.

Merdeka Datang, Penjajah Bangsa Sendiri Mulai
17 Agustus 1945, meriam Belanda berhenti dan bendera merah putih pun naik. Rakyat Indonesia bersorak karena merasa bebas. Tapi hari itu juga lahir penjajah baru, yakni bangsa sendiri.

“Batas laut ditarik, pajak dibuat, izin diperketat untuk masyarakat, untuk penguasa atau mafia. Mudah diatur dan uang bicara. Hebatnya, nama – nama aturan berderet panjang. Muncul sesuai kepentingan. Negara bikin aturan main baru,” kata Monica.

“Yang tidak membayar, disingkirkan. Yang melawan, diadili. Yang protes sekarang, kena UU ITE,” tegasnya dengan jelas.

Kalau Mau Mencuri, Buat Aturan Dulu
Sekarang mencuri tidak perlu senjata, cukup pena dan tanda tangan.  Kalau buat peraturan pemerintah, beri pasal samar. Taruh orang sendiri jadi pejabat di daerah dan biarkan celah emas.

Itulah cara paling rapi. Semuanya legal, semua tampak rapi di atas kertas, dan rakyat? Hanya bisa menatap. Jadi, pancasila sekedar ilusi.

Batam: Laboratorium Penjajahan Dalam Negeri
Kota Batam jadi contoh telanjang. Dari luar, tampak namanya keren, yakni free trade zone. Batam punya cita-cita ingin seperti Singapura.

Tapi, moral dan kempuan sayang jauh. Sebab, dari dalam, masyarakat tempatan tiba-tiba dirubah jadi tamu. Salah satunya, warga bayar iuran di tanah sendiri, itupun kalau tidak dirampas.

Uniknya, ada BP Batam yang super power dengan wakil yang kuat. Dimana, badan yang berdiri langsung di bawah presiden, dengan kuasa penuh atas lahan dan pelabuhan.

Pemerintah kota? Sering hanya penonton.

Contoh mafia berkuasa juga jelas kali di Kota Batam, seperti Akim, Bobie Jayanto. Di atas mereka, ada bohir berinisial AH atau DC. Tampaknya mereka semakin jauh, semakin samar. Dana mengalir ke bawah. Keputusan naik ke atas. Mirip kisah Riza Chalid di Jakarta, tapi ini versi pulau.

Reklamasi dan Proyek “Resmi”
Lihat reklamasi. Pantai ditimbun tanpa tanggung jawab. Bahkan, Mangrove hancur. Pasir laut disedot. Pulau kecil abrasi. Nelayan kehilangan tangkapan. Semuanya diatasnamakan investasi. Padahal, investor kebanyakan broker. Rencana aksi hanya mimpi.

Contoh paling segar adalah Pelabuhan Batu Ampar. Semua prosedur resmi. Spesifikasi 12 meter kedalaman, nyatanya dangkal. Menurut info, kapal besar tidak bisa masuk. Bahkan, proyek revitalisasi yang bernilai miliaran itu menghasilkan mangkrak.

Pemeriksaan berjalan dan audit BPK menunggu.  Kasus ini sempat bergulir hingga di tingkat Polda Kepri, tapi seperti ditahan oleh oknum dan para mafia yang beraksi.