Pasalnya, PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP) yang memerintahkan PT Lamro Matua Sejati (LMS) untuk merobohkan gedung senilai Rp922 miliar itu, mendapat pengawalan dari Tim Terpadu yang dibentuk oleh BP Batam bersama Pemerintah Kota Batam, dimana kedua instansi tersebut dipimpin oleh Muhammad Rudi.
“Ya, saya yakin aksi perobohan terhadap Hotel dan Resort Purajaya melibatkan Walikota Batam Ex Officio Kepala BP Batam, terbukti dari hampir 500-an personil Satpol PP, Direktorat Pengamanan (Ditpam) BP Batam, Kepolisian dan TNI, menjaga aksi perobohan itu. Saya kira penting untuk memeriksa semua instansi terkait demi mendapat indikator keterlibatan pimpinan, terutama Kepala BP Batam,” kata Ketua Bidang Pertanahan dan Lingkungan Hidup Gerak Garuda Nusantara (Gegana), Azhari Hamid ST MEng.
Mengapa kasus perobohan hotel Purajaya menjadi kasus yang seharusnya dapat atensi dari DPR dan Pemerintah, khususnya aparat penegak huku, kata Azhari, karena belum pernah ada tindakan perusakan yang menghilangkan investasi ratusan miliar, disaksikan dan bahkan dilindungi oleh aparat.
”Apa yang terjadi di Batam, merupakan contoh buruk kepemimpinan sebuah lembaga bernama BP Batam, yang menimbulkan ketakutan di pihak investor dan ketidak-pastian hukum,” ucap Azhari.
Beberapa waktu lalu, ketika proses perdata kasus perobohan Hotel Pura Jaya berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Batam, seorang saksi ahli dalam sidang perobohan gedung hotel Pura Jaya, yakni Mantan Kepala Sub Direktorat Pertanahan dan Kawasan Khusus, Hendri Firdaus, SH, menegaskan perobohan gedung hotel Pura Jaya tidak sah secara hukum.
Pasalnya, pemilik gedung, yakni PT Dhani Tasha Lestari (DTL) masih memiliki hak prioritas atas tanah, dan kenyataannya masih ada upaya hukum untuk mempertahankan tanah itu.
“Pemilik bangunan gedung hotel Pura Jaya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, masih memiliki hak prioritas yang tidak dibatasi oleh waktu. Hak prioritas itu antara lain untuk memperpanjang sewa tanah (UWT-Uang Wajib Tahunan) yang diperkuat oleh Sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan). Saya jamin BPN (Badan Pertanahan Nasional) tidak akan mencabut HGB sebelum adanya kekuatan hukum atas sengketa di atas tanah yang bersangkutan,” kata Hendri Firdaus.
Pada Peraturan Pemerintah RI nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, pada pasal 37 ayat (4) disebut: Tanah yang Dikuasai Langsung oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penataan kembali penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan menjadi kewenangan Menteri dan dapat diberikan prioritas kepada bekas pemegang hak dengan memperhatikan enam alasan.
Enam alasan itu yakni:
a. tanahnya masih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak;
b. syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak;
d. tanahnya masih sesuai dengan rencana tata ruang;
e. tidak dipergunakan dan/atau direncanakan untuk kepentingan umum;
f. sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan g. keadaan Tanah dan masyarakat sekitar.
Dasar yuridis itu, menurut Hendri Firdaus, sangat kuat untuk membatalkan pengalokasian tanah kepada pihak ketiga, dalam kasus Hotel Pura Jaya, adalah PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP).
“Penyewa baru harus memastikan bahwa kewajiban PBB (Pejak Bumi dan Bangunan) telah dialihkan kembali kepada BP (Badan Kawasan Batam), untuk seterusnya dialihkan kepada penerima alokasi. Jika tidak, berarti masih ada persoalan hukum. Harusnya, ditunda dulu pengambil-alihan tanah sampai clear secara hukum,” tutup Hendri Firdaus./Red.