SIKATNEWS.id | Warga yang bermukim dan telah tinggal turun-terumurun di Pulau Rempang meminta seluruh personil PT Makmur Elok Graha (MEG) keluar dari Pulau Rempang dan Galang untuk menghindari gelombang perlawanan warga yang lebih besar. Sejumlah tokoh masyarakat meminta aparat kepolisian mencabut status tersangka Siti Hawa alias Nenek Awe (67 tahun) dan dua rekannya.
“Kami meminta PT MEG keluar dari Pulau Rempang dan Galang untuk meredakan amarah warga, karena kami menilai pekerjaan PT MEG selama ini telah melebihi kapasitasnya, telah mengangkangi pemerintah. Seharusnya BP (Badan Pengusahaan) Batam lebih dahulu menyelesaikan urusan tanah dengan warga, lalu kemudian diserahkan ke investor. Tetapi yang terjadi, PT MEG belum melakukan kewajibannya kepada pemerintah dan BP Batam, lalu mengeksekusi tanah, mengusir warga hingga meng-kriminalisasi warga yang mempertahankan haknya,” kata tokoh masyarakat Rempang, Gerisman Ahmad, keapada wartawan di Batam, Kamis (30/01).
Di mana pun di bagian-bagian Indonesia ini, kata Gerisman, pemilik hak ulayat dan hak atas tanah adat yang didiami sejak turun-temurun, diselesaikan lebih dahulu dengan duduk bersama pemerintah, atau BP Batam. Jika telah terjadi titik temu antara BP Batam dengan warga, barulah perusahaan dipersilahkan masuk pada arena yang telah disepakati.
“Ini, saya sudah beberapa kali menyampaikan ke PT MEG, kalian mengeksekusi warga, kalian mengukur, kalian mengusir warga. Kalian tidak menghargai kampung kami sebagai tanah ulayat dan hak kami sebagai masyarakat adat,” ucap Gerisman.
Warga kampung di Sembulang, Rempang dan sekitarnya, kata Gerisman, kini telah terpicu emosi dan kemarahannya.
“Saya sudah bilang sama Kapolres Ompusunggu, seperti tidak nyambung antara apa yang kami sampaikan dengan apa yang dibahas. Kenapa warga kami yang diserang di saat menyampaikan pendapatnya? Setiap orang yang menyampaikan pendapatnya di muka umum dilindungi undang-undang, tidak seharusnya dikriminalisasi. Mereka tertekan dan marah, sehingga penyelesaian tidak akan diperoleh jika PT MEG tidak keluar dari Rempang,” katanya.
Selama ini, kata Gerisman lagi, personel PT MEG ada di kantor Camat. Lalu diminta keluar, mereka pindah ke kantor Koramil. Setiap ada warga yang melakukan kegiatan di wilayah Rempang diintimidasi, dilaporkan ke Polres dan ditangkap. Kemudian yang terakhir dianiaya hingga 3 warga mengalami luka berat di sekujur tubuhnya.
“Apa hak PT MEG menyerang dan menganiaya warga? Kam ini pemilik hak ulayat. PT MEG tidak ada etika dan tidak patuh pada hukum. Kemarahan warga memuncak, apalagi setelah mendengar Nenek Awe dijadikan tersangka,” tutur Gerisman.
Tiga warga yang dijadikan tersangka, yakni Siti Hawa alias Nenek Awe (67 tahun), Sani Rio (37 tahun) dan Abu Bakar alias Pak Aceh (54 tahun). Penetapan tersangka disampaikan oleh Kapolresta Barelang, Kombes Pol Heribertus Ompusunggu pada Senin, 27 Januari 2025. Mereka dikenakan pasal Pasal 333 KUHP. Pasal itu menjerat barang siapa dengan sengaja melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan meneruskan perampasan kemerdekaan dengan ancaman penjara 8 tahun. Penetapan tersangka itu menimbulkan reaksi keras di tengah masyarakat Batam, Rempang dan Galang.
Senada dengan Gerisman, Ketua Saudagar Rumpun Melayu, Megat Rury Afriansyah meminta aparat hukum menghentikan kriminalisasi dan membatalkan status tersangka Nek Awe dan dua rekannya warga Sembulang, Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Kota Batam. Pasalnya, warga Rempang bertindak untuk mempertahankan hak dasarnya sebagai masyarakat adat turun-temurun, sementara tindakan penganiayaan terhadap warga telah terjadi berulang-kali.
“Penetapan Nek Awe dan rekan-rekannya sebagai tersangka menurut penilaian kami, merupakan tindakan gegabah dari penegak hukum. Seharusnya pelaku penyerangan yang mengakibatkan 3 warga luka-luka serius. Mereka mempertahankan haknya atas tanah yang mereka diami, bukan justru hak mereka yang dikebiri dan dikriminalisasi pula. Jangan sampai terjadi lagi gelombang perlawanan yang lebih besar, Amok Melayu,” kata Megat Rury Afriansyah.